Warisan Sketsa dan Lukisan I Gusti Made Peredi, Jejak Perupa Pesisir yang Tak Lekang Waktu

2 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
Bertempat di rumah keluarga di Jalan Mayor Wisnu Gang I/6, Banjar Abasan, Denpasar Timur, koleksi karya Peredi tersimpan rapi dalam ruangan khusus. Hasil pendataan menyebutkan terdapat sedikitnya 2.617 karya, meliputi 2.234 sketsa, 39 lukisan kanvas hitam putih, 97 lukisan cat minyak di kanvas, 247 lukisan pastel kapur di atas kertas, dan 1 lembar langse bergambar wayang.

Menurut Dwiana Putra lukisan tersebut dibuat ayahnya sejak tahun 1956 hingga 2016. Dia mengumpulkan dan merawat karya-karya ayahnya untuk dikoleksi dan dibuatkan ruangan khusus di rumahnya, Selasa (6/5/2025). 

 “Sejak Ajik tiada pada 20 Januari 2022, saya mulai mengumpulkan dan mendata karya-karyanya. Medium yang dipakai sangat beragam, mulai dari tinta tradisional (mangsi), pastel, cat air, hingga cat minyak. Setiap medium seperti mencerminkan fase kehidupan beliau,” tutur Dwiana.

Peredi dikenal sebagai perupa yang memiliki kedekatan batin dengan alam pesisir. Goresan-goresannya menggambarkan pantai, laut, dan masyarakat pesisir Bali. Ia banyak melukis langsung di tempat seperti Kuta, Jimbaran, Nusa Dua, hingga Benoa, dengan gaya yang naturalis, namun terkadang juga dekoratif dan sarat simbol lokal.

“Ajik juga kerap melukis wajah-wajah binatang, raksasa, serta karangan khas Bali seperti karang guak, karang raksasa, karang gajah, hingga Rangda dan Barong Landung. Gaya pewayangannya berbeda dari klasik Kamasan, karena Ajik menyisipkan pendekatan anatomi dan personal,” jelas Dwiana.

Meski dikenal otodidak, Gusti Peredi memiliki pola belajar yang kuat. Ia tidak pernah belajar secara formal kepada satu tokoh, namun menyerap pengetahuan dari berbagai seniman seperti I Gusti Ngurah Gede (Sidik Jari), Kasim, Rai Kalam, serta tokoh-tokoh sezamannya seperti Suwandi dan Raka Pasta.

Peredi juga dikenal enggan mengomersialkan karya. Meski beberapa kolektor asing, termasuk dari Jerman, tertarik pada lukisannya, ia tidak pernah menjual karyanya di galeri. “Dia biasa berkata ‘tidak ngacung gambar’, tidak mau menilai karya dengan uang,” ungkap Dwiana, menyamakan sikap ayahnya dengan prinsip Ida Bagus Poleng, seniman legendaris Bali.

Tak hanya sebagai pelukis, Peredi juga dikenal sebagai pengajar dan tokoh banjar. Ia pernah mengajar di SD hingga SMSR Batubulan, dan aktif membina generasi muda di sekitarnya. Sekitar 70 persen pemuda Banjar Abasan disebut sempat belajar natah (mengukir) langsung dari dirinya. Ia juga membuat berbagai sarana upacara seperti kober, tangkeb rangda, dan ornamen griya.

Lahir dari pasangan I Gusti Made Raka Ngetis, seorang pengukir, dan Jro Kayen, seorang penenun dari Tatasan, jiwa seni Peredi diwarisi turun-temurun. Talenta itu terus hidup lewat istri dan anak-anaknya, termasuk Dwiana yang kini berprofesi sebagai arsitek dan pembuat kober sakral.

Karya-karya Peredi tidak hanya dipamerkan di ajang seperti Pesta Kesenian Bali (PKB), tetapi juga pernah menjadi bagian dari kampanye sosial dan kegiatan komunitas budaya. Keluarganya juga berkontribusi dalam pembangunan Museum Bali melalui keterlibatan keluarga besar Jro Kepisah.

Atas dedikasinya di bidang seni dan pendidikan, Peredi menerima sejumlah penghargaan, antara lain Seni Kerti Budaya Kota Denpasar (2004), Seniman Tua dari Gubernur Bali (2007), dan Dharma Kusuma (2008).

Kini, meski raganya telah tiada, jejak dan semangat I Gusti Made Peredi tetap hidup dalam garis-garis sketsanya, dalam warna-warna lukisannya, dan dalam ingatan kolektif masyarakat seni Bali. *mis

Read Entire Article