UU Ciptaker Dinilai Belum Berpihak pada Buruh

5 hours ago 4
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) terus menjadi polemik sejak pertama kali disahkan pada tahun 2020. Pemerintah menyebut regulasi ini sebagai terobosan untuk menyederhanakan birokrasi, mempercepat perizinan usaha, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja.

Namun, bagi jutaan buruh di Indonesia, UU ini justru menimbulkan ketidakpastian dan dianggap mengikis perlindungan terhadap pekerja.  Sejak awal, Omnibus Law digadang-gadang sebagai solusi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah mengklaim penyederhanaan regulasi akan mendorong tumbuhnya sektor usaha padat karya seperti tekstil, manufaktur, dan elektronik, yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja.

Akademisi Universitas Warmadewa, Dr Anak Agung Putu Sugiantiningsih, SIP, MAP, menjelaskan pemerintah melihat regulasi ini diharapkan membuat buruh lebih banyak mendapat peluang kerja dengan upah yang layak serta jaminan sosial lebih baik," terangnya, Sabtu (3/5).

Ia menyebut fleksibilitas kerja seperti sistem paruh waktu dan perluasan outsourcing sebagai upaya adaptasi terhadap dinamika industri global yang semakin cepat, terutama pascapandemi.

Namun di balik narasi optimisme itu, buruh justru menghadapi kenyataan berbeda. Revisi terhadap ketentuan pesangon, kontrak kerja, dan jam kerja dianggap menguntungkan pengusaha, tetapi memperlemah posisi pekerja. Salah satu contoh nyata adalah pemangkasan pesangon dari 32 kali gaji menjadi separuhnya. Sisanya bergantung pada program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang pelaksanaannya dinilai masih belum maksimal.

Tak hanya itu, penghapusan pembatasan outsourcing juga memperburuk situasi. Buruh di sektor industri dan logistik kini semakin terjerat dalam kontrak kerja jangka pendek yang diperpanjang tanpa kejelasan status tetap. Ini berdampak pada ketidakpastian penghasilan, sulitnya akses kredit, dan jaminan sosial yang rentan.

"Padahal, dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, kepastian kerja dan akses terhadap jaminan sosial menjadi kebutuhan dasar yang harus dijamin negara," ujarnya.

Dampak nyata dari penerapan Omnibus Law mulai terasa di sejumlah sektor, salah satunya industri tekstil. Berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), lebih dari 80.000 buruh terkena PHK sejak akhir 2023. Penyebabnya kombinasi antara melemahnya permintaan ekspor dan fleksibilitas ketenagakerjaan yang membuat PHK lebih mudah dilakukan.

Serikat buruh menilai Omnibus Law membuka celah bagi perusahaan untuk menghindari kewajiban pesangon besar saat melakukan PHK. Ini menjadi preseden buruk terhadap stabilitas ketenagakerjaan, terlebih saat buruh menjadi pihak paling rentan dalam kondisi krisis.

Ia berharap, Omnibus Law dapat menjadi terobosan yang berpihak pada semua pihak jika dirancang dengan pendekatan yang lebih berkeadilan. Sayangnya, orientasi yang terlalu pro-investor membuat kesejahteraan pekerja seolah menjadi prioritas kedua.

Salah satu solusi yang ditawarkan banyak akademisi dan aktivis adalah membangun kembali kepercayaan antara buruh dan pemerintah melalui dialog yang terbuka dan transparan. Di sisi lain, buruh juga harus memperkuat posisi tawar melalui pendidikan hukum dan konsolidasi gerakan.

Sugiantiningsih menyarankan perlunya peningkatan literasi hak, pelatihan keterampilan baru, pendidikan vokasi dan pengawasan ketat praktik outsourcing. Semua itu menurutnya penting agar buruh siap menghadapi era kerja fleksibel yang penuh ketidakpastian.

Omnibus Law bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi membawa harapan lapangan kerja baru, di sisi lain menghadirkan ketidakpastian jaminan kerja dan kesejahteraan," tegasnya. Ia menutup dengan pesan bahwa nasib buruh Indonesia sangat bergantung pada kemampuan negara menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan hak pekerja. t
Read Entire Article