MUTIARA WEDA: Pemimpin - Penentu Indonesia Emas

15 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
Apa pun yang dilakukan oleh seorang pemimpin besar, akan diikuti oleh rakyat. Standar yang dia tetapkan menjadi panutan bagi dunia.

VISI jangka panjang untuk menjadi negara maju, adil, dan makmur saat mencapai 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045 disebut Indonesia Emas. Ada empat pilar utama penopangnya, yakni manusia Indonesia yang unggul (berpendidikan, sehat, berkarakter); Ekonomi yang maju dan berkelanjutan; Pemerintahan yang bersih dan efektif; Ketahanan nasional dan kontribusi global. Mungkinkah tercapai? Waktunya tinggal 20 tahun lagi. Mari kita optimistis. Siapa penentu utamanya? Pemimpin. Teks di atas menyebut, pemimpin besar akan diikuti masyarakat. Standarnya akan menjadi panutan dunia.

Pemimpin adalah kunci utama tercapainya Indonesia Emas, karena semua transformasi besar dalam sejarah umat manusia selalu bermula dari arah yang ditentukan oleh pemimpinnya. Teks di atas menyatakan bahwa pemimpin adalah ‘kompas moral dan strategis’ bangsa. Tanpa arah yang jelas, masyarakat akan berjalan tanpa tujuan. Indonesia Emas membutuhkan pemimpin yang, pertama memiliki visi jauh ke depan, melampaui masa jabatan pribadi; kedua, berani membuat kebijakan besar meski hasilnya tak langsung terlihat; ketiga, menanam nilai jangka panjang seperti pendidikan, integritas, dan ketahanan budaya.

Indonesia Emas tak mungkin terjadi hanya dari ide, tapi dari eksekusi dan pembinaan SDM. Pemimpin harus menjadi arsitek kebijakan yang efektif, menjamin pendidikan dan kesehatan sebagai pondasi SDM unggul dan meningkatkan tata kelola dan teknologi agar sistem publik efisien. Indonesia terdiri dari ratusan etnis, bahasa, dan budaya. Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa. Pemimpin harus jadi pengikat keberagaman ini, bukan malah memecahnya demi politik sesaat. Pemimpin berjiwa negarawan akan menumbuhkan rasa ‘kita’, bukan hanya ‘aku’ atau ‘mereka’. 

Dalam Manusmrti disebutkan, Dharmasya rakṣati rājā tu, rājā dharmeṇa tiṣṭhati – Pemimpin (raja) melindungi dharma, dan pemimpin sendiri berdiri tegak di atas dharma. Tanpa integritas, Indonesia bisa maju secara ekonomi namun runtuh secara moral. Pemimpin yang kuat tapi tidak bermoral akan menghasilkan sistem yang penuh ketakutan, bukan keadilan. Jadi, deskripsi tentang pemimpin yang mampu mengantarkan Indonesia mencapai keemasannya paling tidak demikian. Masalah besarnya adalah, bagaimana bangsa Indonesia mampu melahirkan pemimpin seperti itu? 

Untuk melahirkan pemimpin yang berdharma, visioner, dan bijaksana tidak cukup hanya berharap, bangsa Indonesia secara kolektif harus menyiapkan ekosistemnya. 

Pertama, bangsa mesti mampu mendidik generasi dengan nilai dan karakter. Pemimpin besar lahir dari rakyat yang berkarakter besar. Pendidikan tidak boleh hanya mengejar nilai akademik, tapi harus mengakar pada etika, kebijaksanaan, dan empati. Perlu adanya integrasi nilai-nilai seperti dharma (kebenaran), satya (kejujuran), daya (keberanian), dan tyaga (pengorbanan) dalam kurikulum. Tokoh-tokoh pemimpin yang berkarakter harus ditonjolkan dalam buku pelajaran, bukan hanya pahlawan perang, tetapi pahlawan moral dan pemikir bangsa.

Kedua, Indonesia mesti menumbuhkan budaya kepemimpinan sejak dini. Kepemimpinan bukan hanya jabatan, tapi watak dan kebiasaan. Penting mengajari anak-anak untuk berani bertanggung jawab, bukan sekadar menjadi ‘ketua’. Konsisten mendorong budaya diskusi, musyawarah, dan pelayanan (seva) di sekolah dan komunitas. Demikian juga perlu mengembangkan lingkungan yang tidak hanya memberi panggung bagi yang pintar bicara, tapi juga bagi yang adil, jujur, dan tulus bekerja. 

Ketiga, membangun politik yang mendidik, bukan menjebak. Sistem yang buruk bisa menghancurkan orang baik; sistem yang baik bisa mengarahkan siapa pun jadi pemimpin yang benar.

Keempat, membudayakan keteladanan dalam keluarga dan komunitas. Rakyat yang terlatih menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, akan menuntut pemimpin yang benar di atasnya. Maka, keluarga sebagai sekolah pertama, orangtua harus menjadi role model kepemimpinan yang etis. 

Kelima, pentingnya spiritual bukan sekadar ritual. Pemimpin sejati tidak hanya cerdas, tapi juga jernih batinnya. Tradisi kontemplasi, tapa, atau meditasi mesti menjadi bagian dari latihan batin calon pemimpin. Paling tidak seperti itulah yang mesti diupayakan oleh bangsa ini.

Maka dari itu, bangsa bisa punya semua sumber daya — kekayaan alam, penduduk besar, geopolitik strategis — tapi tanpa pemimpin yang bijak dan berani, semua itu tidak akan terarah. 7
Read Entire Article