MUTIARA WEDA: Ego, Apa Itu?

15 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
Segala tindakan dijalankan oleh sifat-sifat alam (prakriti), tetapi jiwa yang dibutakan oleh ego mengira, ‘Akulah pelakunya’.

EGO adalah kesadaran diri yang menganggap ‘aku’ sebagai pusat, sering kali terikat pada identitas, peran, dan keinginan pribadi. Dalam konteks spiritual Hindu, ego (ahaṅkāra) adalah ilusi keakuan yang membatasi kesadaran sejati (Ātman). Gita menyatakan bahwa semua aktivitas di dunia, baik gerak tubuh, pikiran, maupun emosi sesungguhnya merupakan hasil dari interaksi tiga sifat dasar alam atau guna dalam prakriti (alam material). 

Ketiga guna tersebut adalah sattva (kemurnian dan keseimbangan), rajas (gairah dan aktivitas), dan tamas (kelesuan dan kebodohan). Orang yang masih diselimuti avidya cenderung mengira bahwa dialah pelaku dari segala tindakan, padahal yang sesungguhnya beraksi adalah unsur-unsur alam yang bekerja melalui tubuh dan pikiran. Kesadaran sejati manusia, atau Atman, bersifat murni dan tidak terikat oleh tindakan; ia hanyalah saksi yang menyaksikan gerak alam. 

Apa penyebab delusi ini? Ketidaktahuan eksistensial membuat seseorang gagal membedakan antara Atman (diri sejati, kesadaran murni) dan prakriti (alam, termasuk tubuh dan pikiran). Dalam tradisi Hindu, khususnya dalam filsafat Vedanta dan Samkhya, avidya dianggap sebagai akar dari semua penderitaan manusia. Karena tidak mengenali hakikat sejatinya sebagai kesadaran murni yang tidak terikat, manusia cenderung mengidentifikasi diri dengan tubuh, pikiran, dan emosi, aspek-aspek yang sebenarnya hanya alat atau instrumen dalam dinamika prakriti.

Melenyapkan avidya ini ternyata tidak sederhana, bahkan seorang yogi yang telah mencurahkan seluruh hidupnya untuk pembebasan pun tidak luput. Delusi ini diperkuat oleh ahamkara (rasa ‘aku’ atau ego), yang muncul sebagai produk dari prakriti itu sendiri. Ahamkara membuat seseorang merasa bahwa dialah pelaku, pemilik, dan penikmat dari setiap tindakan dan pengalaman. Ketika rajas (gairah dan keaktifan) dan tamas (kegelapan dan ketidaktahuan) mendominasi pikiran, kesadaran akan hakikat sejati semakin tertutup. Sementara itu, sattva, yang memungkinkan kejernihan dan kebijaksanaan, sering kali tertutup oleh kecenderungan duniawi, keinginan, dan keterikatan. 

Secara psikologis, delusi ini muncul karena manusia secara alami mengalami dunia melalui pikiran dan indera. Sejak kecil, kita belajar mengenali identitas diri berdasarkan nama, bentuk, jabatan, peran sosial, dan pengalaman emosional. Semua ini membentuk konstruksi ego yang kuat. Tanpa refleksi spiritual atau latihan kontemplatif, sulit bagi seseorang untuk menyadari bahwa semua itu hanyalah lapisan-lapisan luar yang bergerak dalam kerangka prakriti, bukan inti keberadaan kita yang sejati.

Oleh karena itu, memahami bahwa tindakan bukan berasal dari ‘aku’ yang sejati, melainkan dari prakriti, adalah langkah awal menuju pembebasan (moksha). Dalam perspektif ini, ego atau ahamkara adalah bentuk delusi, yaitu kesalahan dalam mengidentifikasi diri dengan badan dan pikiran. Dengan menyadari perbedaan antara Atman dan prakriti, seseorang dapat terbebas dari ikatan karma dan penderitaan yang muncul akibat keterikatan pada hasil perbuatan.

Orang yang senantiasa mengejar status dan harta adalah contoh dari jeratan ini, karena dia percaya bahwa nilai dirinya ditentukan oleh apa yang dia miliki. Ketika kehilangan pekerjaan atau jatuh miskin, dia merasa hancur karena seluruh identitasnya terkait pada hal-hal luar itu. Demikian juga orang yang sangat melekat pada pujian dan pengakuan, lalu merasa marah, kecewa, atau minder ketika tidak mendapat validasi dari orang lain. Dia lupa bahwa dirinya tetap berharga meskipun tanpa pengakuan. Contoh lain adalah orang yang terlalu terikat pada peran, misalnya sebagai ibu, guru, atau pemimpin, lalu merasa kehilangan arah ketika peran itu selesai. Dia mengira jati dirinya hanyalah peran itu, padahal dia lebih dalam dari semua identitas sosial.

Ada beberapa cara untuk mengatasinya. Pertama, viveka (pembedaan), latihan untuk membedakan antara yang kekal (nitya) dan yang sementara (anitya). Dengan ini, seseorang mulai menyadari bahwa tubuh, pikiran, dan dunia adalah fana, sedangkan Atman adalah kekal. Kedua, vairagya (ketidakmelekatan). Ini bukan berarti menolak dunia, tapi tidak terjebak olehnya. Ketiga, Svadhyaya, mempelajari teks-teks suci yang membimbing seseorang untuk mengenali hakikat diri dan realitas. Keempat, duduk diam, mengamati pikiran, dan kembali ke kesadaran sebagai saksi (sakshi-bhava) adalah kunci utama untuk menyadari bahwa kita bukan pikiran, melainkan yang menyaksikan pikiran. Juga mendapat bimbingan guru dan melaksanakan bhakti sangat efektif untuk itu. 7
Read Entire Article