Lewat Jalur Mediasi, Konflik Warisan di Kerobokan Kelod Berakhir Damai

4 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
Konflik bermula dari tragedi kecelakaan maut di Jalur Pantura Situbondo, Jawa Timur, pada Juli 2024. Peristiwa tersebut merenggut nyawa pasangan suami istri Sumarsono dan Peny secara beruntun, menyisakan persoalan pelik terkait kepemilikan sejumlah aset warisan, termasuk rumah tinggal di kawasan Puri Citra Pratama, Lingkungan Pengubengan Kangin, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.

Awalnya, keluarga Peny mengklaim 75 persen bagian warisan, mengacu pada penafsiran hukum perdata Barat. Sementara itu, keluarga Sumarsono menolak pembagian tersebut dan menuntut agar rujukan hukum waris Indonesia digunakan. Perselisihan pun tak terhindarkan dan sempat memanas dalam beberapa pertemuan informal, termasuk di sebuah restoran di Denpasar.

Ketika pertemuan awal gagal menghasilkan kesepakatan, kedua keluarga sepakat menunjuk kuasa hukum masing-masing. Dari pihak keluarga Sumarsono, I Wayan Swandi, S.Pd., S.H., MNLP., CTA dari AWS Law and Firm, ditunjuk sebagai pendamping hukum. Ia memainkan peran penting dalam mendorong jalur mediasi sebagai solusi damai.

“Kami menjelaskan, bahwa sekalipun dibawa ke pengadilan, hasilnya tidak akan jauh berbeda. Mediasi justru menghemat waktu, biaya, dan energi emosional,” ungkap Swandi saat ditemui usai kesepakatan tercapai.

I Wayan Swandi dari AWS Law Firm, sukses menuntaskan konflik waris tanpa perlu melalui jalur meja hijau.

Setelah beberapa kali diskusi, termasuk pertemuan yang dilakukan di Starbucks Sunset Road, akhirnya kedua pihak sepakat membagi warisan dengan porsi 37,5 persen untuk keluarga Sumarsono dan 62,5 persen untuk keluarga Peny.

Swandi menegaskan bahwa kesepakatan ini bersifat final. “Pembagian ini sudah mempertimbangkan aspek keadilan dari berbagai sisi. Lebih baik mencapai kesepakatan sekarang daripada menambah beban emosional di pengadilan,” ujarnya.

Swandi juga menyoroti pentingnya peran advokat dalam proses mediasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 1 angka 8, disebutkan bahwa advokat dapat membantu menyelesaikan perkara di luar pengadilan melalui mediasi sebagai pihak netral dan imparsial.

“Advokat tidak hanya berperan sebagai pembela di pengadilan, tetapi juga sebagai negosiator dan komunikator dalam sengketa seperti ini,” jelasnya. Menurut Swandi, mediasi tidak hanya menghemat waktu dan biaya, tetapi juga menjaga relasi kekeluargaan tetap utuh.

Proses menuju mediasi ini sendiri tidak selalu berjalan mulus. Salah satu puncak ketegangan terjadi pada 9 Mei 2025 ketika pihak keluarga Sumarsono melakukan pembukaan paksa rumah sengketa yang sudah lama kosong. Aksi tersebut dilakukan dengan pengawasan aparat dan pemberitahuan resmi kepada perangkat desa setempat.

“Tujuannya bukan untuk konfrontasi, tapi untuk memastikan keberadaan dokumen penting seperti sertifikat, dokumen pernikahan, dan barang-barang berharga,” ujar Swandi. Namun saat dicek, semua barang tersebut ternyata sudah tidak berada di dalam rumah.

Aksi ini justru menjadi titik balik. Kedua pihak mulai menyadari bahwa pertikaian berkepanjangan akan lebih merugikan dan akhirnya sepakat untuk kembali duduk bersama.

“Kami tidak ingin warisan ini menjadi pemicu perpecahan keluarga. Hukum seharusnya menjadi alat untuk keadilan, bukan pertikaian,” ujar Andre Triwibowo, mewakili keluarga Sumarsono.

Dengan ditandatanganinya kesepakatan damai, konflik yang berpotensi berkepanjangan ini berakhir dengan solusi yang adil dan bermartabat. Kisah ini menjadi contoh bahwa mediasi dapat menjadi pilihan utama dalam penyelesaian sengketa warisan.

“Hukum kita sudah lentur. Mediasi harus jadi pilihan pertama, bukan jalan terakhir,” tegas Swandi menutup pernyataannya.

Read Entire Article